Kamis, 21 Juli 2011


RENCANA STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN
(RENSTRANAS PGPK)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang – undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pembangunan Nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan Indera Penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, dalam kerangka mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera laih batin.
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, dimana sepertiganya berada di Asia Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta tiap menit di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar orang buta (tunanetra) di Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi lemah.
Survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993 – 1996, menunjukkan angka kebutaan 1.5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0.78%), glaukoma (0.20%), kelainan refraksi (0.14%), dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia (0.38%). Besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 15,3 juta (7,4% dari total penduduk). Jumlah dimaksud cenderung akan bertamah besae karena berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik tahun 1993, jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan sebesar 414% dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990.
Ini merupakan persentase kenaikan paling tinggi di seluruh dunia, karena pada periode waktu yang sama kenaikan di beberapa negara secara berturut-turut adalah Kenya 347%, Brazil 255%, India 242%, China 220%, Jepang 129%, Jerman 66% dan Swedia 33% (Kinsella & Tonber, 1993). Selain itu masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis. Sekitar 16% sampai 22% penderita katarak yang dioperasi berusia dibawah 55 tahun. Hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor degeneratif akibat masalah gizi. Kebutaan bukan hanya mengganggu produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negera lebih – lebih dalam menghadapi pasar bebas.
Dibandingkan dengan angka kebutaan negara – negara di Regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia adalah tertinggi (Bangladesh 1%, India 0.7%, Thailand 0.3%). Insiden katarak 0.1% (210 ribu orang) per tahun, sedangkan yang dioperasi baru lebih kurang 80.000 orang per tahun.
Akibatnya, timbul backlog (penumpukan penderita) katarak yang cukup tinggi. Penumpukan ini antara lain disebabkan oleh daya jangkau pelayanan operas yang masih rendah, kurangnya pengetahuan masyarakat, tingginya biaya operasi, serta ketersediaan tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan mata yang masih terbatas.
Upaya – upaya pecegahan kebutaan di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1967 ketika kebutaan dinyatakan sebagai bencana nasional. Waktu itu, upaya diutamakan pada pemberantasan trachoma dan defisiensi vitamin A. Pada balita masalah kurang vitamin A (KVA) sudah bukan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi KVA klinis, yang ditunjukkan oleh prevalensi Xeroftalmia (X1b) menurun dari 1.3% pada tahun 1980 menjadi 0.3% pada tahun 1992. Namun kita perlu waspada karena 50.2% balita masih menderita KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya serum retinol (serum retinol <20nngr/dl) yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak.
Selama krisis ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif, terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu dan balita di daerah miskin perkotaan. Beberapa laporan dari daerah dan data survei yang dilakukan oleh Hellen Keller International (HKI) di beberapa daerah kumuh perkotaan, yaitu di Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta pada tahun 1998 mernunjukkan bahwa hampir 10 juga anak balita penderita KVA subklinis, dimana 80.000 diantaranya disertai dengan gejala bercak bitot (Xeroftalmia) yang terancam buta (<0.3%).
Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) sudah diintegrasikan ke dalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan program Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP) dimulai sejak 1987 baik melalui Rumah Sakit (RS) maupun Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM). Namun demikian, hasil survei tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa angka kebutaan meningkat dari 1,2% (1982) menjadi 1,5% (1993-1996), padahal 90% kebutaan dapat ditanggulangi (dicegah atau diobati). Disamping itu masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5% dari prevalensi.
Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkurakan berjumlah 95 juta orang (BPS, tahun 2000). Pada gilirannya nanti akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengambangan dan penguatan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan.
Kondisi-kondisi tersebut sudah menjadi masalah sosial yang tidak mungkin ditangani sendiri oleh Departemen Kesehatan, tetapi harus ditanggulangi secara terpadu oleh pemerintah dan seluruh unsur masyarakat. Lintas Sektor terkait (Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja) diharapkan dapat berperan aktif. Menadari kondisi tersebut, Presiden Megawati Soekarnoputri (waktu itu wakil presiden) pada tanggal 15 Februari 2000 telah mencanangkan program WHO: Vision 2020 – The Right to Sight di Indonesia. Program ini merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah/direhabilitasi. Program ini dicanangkan di wilayah Asia Tenggara oleh Direktur Regional WHO Daerah Asia Tenggara pada tanggal 30 September 1999. Pencanangan ini berarti pemberian hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal.
Sebagai tindak lanjut atas pencanangan Vision 2020 dan mendukung tercapainya Indonesia Sehat 2010, dipandang perlu menyusun rencana strategis nasional yang bersifat lintas sektor dan lintas profesi. Oleh karena itu pada pelaksanaannya perlu mengacu pada Undang-undangn yang berlaku, agar dapat dilaksanakan secara komprehensif dan harmonis di pusat dan daerah. Undang – undang yang dimaksud, diantaranya ialah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kebutaan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
B. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495)
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893)
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848)
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelengaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090)
8. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4095)
9. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4106)
10. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4124)
11. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 350a/Menkes/SK/VI/1991 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Propinsi Sumatra Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Menkes/SK/VI/1993 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Propinsi Sumatra Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Utara
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 443/Menkes/SK/VI/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Propinsi Sumatra Utara, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 823/Menkes/SK/V/2000tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Propinsi Nusa Tenggara Barat
15. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Hasil Belajar Mengajar
16. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pendidikan Perguruan Tinggi
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1277 tahun 2001 tentang Struktur Organisasi Departemen Kesehatan
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 544 tahun 2002 tentang Registrasi dan Izin Kerja Refraksionis Optisien
19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1424/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Optikal
II. ANALISIS SITUASI
A. KEKUATAN
1. Tahun 1984 Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) telah dirintis sehingga saat ini program UKM/PK telah menjadi kegiatan pokok Puskesmas dengan pendekatan kesehatan masyarakat (komunitas).
2. Terselenggaranya pelayanan kesehatan indera baik oleh pemerintah maupun masyarakat /LSM yang lebih menekankan pada pelayanan luar gedung dalam rangka meningkatkan daya jangkau pelayanan operasi bedah katarak dan kelainan refraksi
3. Tersedianya tenaga kesehatan terlatih (dokter umum dan perawat, ahli Gizi) dalam Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) dan Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP)
4. Tersedianya Puskesmas di setiap Kecamatan di seluruh Indonesia
5. Tersedianya RS pemerintah dan swasta di berbagai Propinsi dan Kabupaten/Kota
6. Tersedianya 11 (sebelas) Balai Kesehatan Masyarakat (BKMM) di 11 (sebelas) Propinsi
7. Tersedianya sarana pendidikan dokter spesialis mata dan pendidikan ahli refraksionis
8. Adanya kesediaan dan kesiapan untuk mobilisasi bagi tenaga dokter spesialis mata, perawat mahir mata, ahli gizi dan refraksionis optisien (RO) dan tenaga elektro medik
B. KELEMAHAN
1. Kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakat dalam Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
2. Belum tertatanya sistem pelayanan kesehatan indera penglihatan yang komprehensif
3. Belum memadai jumlah tenaga kesehatan terkait dibandingkan dengan jumlah penduduk yang harus dilayani.
a. Rasio dokter spesialis mata: 1:250.000 (WHO 1:20.000)
b. Rasio refraksionis optisien: 1:100.000 (WHO 1:10.000)
4. Belum meratanya distribusi tenaga kesehatan terkait. Sebanyak tujuh puluh persen (70%) dokter spesialis mata berada di kota-kota besar di pulau Jawa
5. Belum memadainya kompetensi tenaga kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer
6. Terbatasnya sarana dan prasarana penunjang untuk kegiatan PGPK
7. Terbatanya puskesmas yang memiliki fasilitas peralatan pemeriksaan kesehatan mata dasar (28% dari jumlah Puskesmas yang ada)
8. Lemahnya manajemen penganggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan mulai dari pusat sampai ke daerah
9. Terbatasnya jumlah lembaga pendidikan D3 Refraksionis Optisien (RO)
10. Tidak tersedianya sumber dana yang memadai baik dari pemerintah, swasta dan masyarakat untuk menunjang kegiatan PGPK
C. PELUANG
1. Adanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam dan luar negeri, organisasi profesi dan kemasyarakatan, dunia usaha, serta media massa yang berperan serta dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
2. Infrastruktur masyarakat yang mendukung yang dapat dilibatkan dalam Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan seperti PKK, Dasawisma, Karang Taruna, Kader Kesehatan, Posyandu, dll
3. Pencanangan program WHO : Vision 2020 – The Right to Sight, memungkinkan untuk mendapat bantuan dari donor luar negeri dan dalam negeri.
4. Penetapan optikal yang distribusinya luas sebagai sarana kesehatan primer dengan adanya Keputusan Menteri kesehatan
5. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan merencanakan dan melaksanakan program – program pembangunan sesuai dengan kebutuhan setempat sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Wewenang Pusat dan Propinsi
6. Perubahan kurikulum program pendidikan dokter spesialis (PPDS) memungkinkan percepatan produksi dokter spesialis mata dari 4 menjadi 3 tahun dan mobilisasi residen spesialis mata ke daerah-daerah yang membutuhkan
7. Berlangsungnya program penanggulangan kurang vitamin A (KVA) pada ibu nifas dan balita dengan pemberian vitamin A secara serempak 2 (dua) kali per tahun (bulan Februari dan Agustus)
D. TANTANGAN
1. Besarnya penumpukan (backlog) kasus kebutaan yang cenderung terus bertambah
2. Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan saat ini belum menjadi program unggulan
3. Banyaknya sarana kesehatan di tingkat Kabupaten/Kota yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan kesehatan mata dan operasi katarak
4. Banyaknya optikal tak berizin (ilegal), di sisi lain banyaknya optikal yang memiliki izin tetapi belum memadai
5. Pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) masyarakat yang kurang mendukung terhadap kesehatan mata dan upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
6. Belum optimalnya perlindungan tenaga kerja terhadap masalah-masalah indera penglihatan
7. Kemampuan ekonomi masyarakat (Sejahtera 1 dan Prasejahtera) yang lemah menyebabkan upaya untuk berobat, membeli obat, atau membeli alat bantu penglihatan (kacamata) belum menjadi prioritas kebutuhan.
8. Masih banyaknya anak balita menderita kekurangan vitamin A secara subklinis
III. VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN
A. VISI
Mata Sehat 2020: Setiap penduduk Indonesia pada tahun 2020 memperoleh kesempatan/hak untuk melihat secara optimal
B. MISI
1. Melakukan promosi kesehatan untuk pemberdayaan masyarakat tentang pentingnya peran mata sehat
2. Menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan di masyarakat
3. Memfasilitasi pemerataan pelayanan kesehatan mata yang bermutu dan terjangkau
4. Menggalang kemitraan dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait di dalam dan luar negeri untuk mewujudkan mata sehat 2020
C. TUJUAN
Tujuan Umum:
Meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan guna mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas
Tujuan Khusus:
1. Meningkatnya upaya pelayanan kesehatan indera penglihatan
2. Tersedianya sumber dana yang memadai dari pemerintah, swasta dan masyarakat di bidang kesehatan indera penglihatan
3. Tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan indera penglihatan yang bermutu dan terjangkau sampai ke tingkat kabupaten/kota
4. Tersedianya sistem informasi dan komunikasi timbal-balik terpadu dalam upaya kesehatan indera penglihatan
5. Meningkatnya sumber daya manusia (dokter spesialis mata, perawat mahir mata, refraksionis optisien, tenaga elektromedik, tenaga ahli gizi) di bidang kesehatan indera penglihatan dan terdistribusi secara merata
6. Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan Pemda Propinsi dan kabupaten/kota untuk kesehatan indera penglihatan
7. Meningkatnya kemampuan dan mutu lembaga penyelenggara pendidikan tenaga kesehatan di bidang kesehatan indera penglihatan
8. Meningkatnya kepedulian masyarakat akan pentingnya kesehatan indera penglihatan
9. Mantapnya manajemen PGPK mulai dari Pusat, Propinsi sampai ke daerah.
D. SASARAN
1. Seluruh lapisan masyarakat mulai dari balita, usia sekolah, usia produktif, dan lanjut usia
2. Semua tenaga kesehatan yang berperan dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan seperti dokter spesialis mata, dokter Puskemas, refraksionis optisien, perawat puskesmas, dan tenaga medik penunjang terkait
3. Organisasi profesi terkait seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia (Iropin) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
4. Lemaga swadaya masyarakat terkait seperti Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KUIS), Yayasan Dharmais, Lions Club, Rotary Club, Helen Keller International (HKI), Christoffel Blinddenmission (CBM), dan Japan International Cooperation Agency (JAICA)
5. Organisasi kemasyarakatan seperti Gerakan Pramuka, PKK, Kowani, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Aisyiah Muhammadiyah, Fatayat NU, Perdhaki, PGI, Walubi, Parisada Hindu Dharma dan Saraswati
6. Lembaga Peneliti dan pengembangan pelayanan keseahtan indera penglihatan
7. Swasta yang terkait meliputi pabrik obat dan alat kesehatan, serta produsen/distributor lensa kacamata, bingkai kacamata dan lensa kontak
8. Lembaga pendidikan tenaga kesehatan indera penglihatan
IV. STRATEGI DAN KEBIJAKAN OPERASIONAL
Mengingat besarnya masalah kesehatan indera penglihatan dan menyadarai pentingnya kesehatan indera penglihatan maka perlu disusun strategi bagi penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
A. STRATEGI
1. Membentuk Komite Nasional, Propinsi, dan Kab/Kota Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan yang berfungsi mengkoordinasikan semua kegiatan dan sumber daya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
2. Meningkatnya advokasi dan komunikasi lintas sektor/program dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
3. Menggalang kemitraan dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
4. Penguatan manajemen program dan infrastruktur pelayanan dalam rangka penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
5. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang terlibat dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
6. Mobilisasi sumber daya pemerintah, swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri yang mendukung pelaksanaan kegiatan penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
B. KEBIJAKAN OPERASIONAL
1. Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) dilaksanakan:
a. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan, dari Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 dan Vision 2020 – The Right to Sight
b. Melalui pelayanan kesehatan primer yang ditunjang oleh sistem pelayanan rujukan kesehatan indera penglihatan serta perluasan pelayanan di berbagai tingkat
c. Secara terdesentralisasi, yang menjamin keterpaduan perencanaan dan alokasi anggaran
d. Sesuai dengan standar pelayanan yang efisien dan efektif
e. Peningkatan sistem pelayanan kesehatan untuk menjamin tersedianya akses terhadap pelayanan kesehatan indera penglihatan yang berkualitas
f. Berorientasi pada pembangunan manusia berkualitas, yang mempu menunjang kualitas kehidupan
g. Bekerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap gangguan penglihatan dan kebutaan
h. Partisipatif, terkoordinasi serta sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dengan mengembangkan strategi “milik daerah sendiri”, sehingga diharapkan dapat
mamaksimalkan kualitas, pemanfaatan, dan kesinambungan kegiatan
i. Pemberdayaan dan penguatan semua kegiatan yang telah ada, dengan pola kerjasama kemitraan, memaksimalkan sumber daya dan mencegah timbulanya kegiatan tumpang tindih
j. Melibatkan semua tenaga kesehatan dan non kesehatan terkait.
2. Penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan berupaya memperoleh alokasi sumber daya uantuk menjamin agar pelayanan kesehatan indera penglihatan dapat dijangkau oleh kaum miskin dan penduduk yang kurang mampu di manapun mereka berada
3. Penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan
V. POKOK – POKOK KEGIATAN TARGET DAN INDIKATOR PENANGGULANGAN GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN
STRATEGI I
Membetnuk Komite Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) Nasional, Propinsi, Kab/Kota untuk menyatu-padukan semua sumber daya, kegiatan, dana penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yang dilakukan oleh organisasi profesi, kemasyarkatan/LSM, dunia usaha, swasta, dan pemerintah.
POKOK KEGIATAN:
1. Penyusunan tugas pokok, fungsi dan mekanisme kerja serta kriteria personalia Komite Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di tingkat Pusat dan Daerah.
2. Penyiapan landasan hukum
3. Pembentukan Komite PGPK di Pusat dan Daerah
TARGET:
1. Tersusunnya tugas pokok, fungsi, dan mekansime kerja termasuk sistem pemantauan dan evaluasi Komite PGPK di tingkat Pusat dan Daerah tahun 2003;
2. Tersedianya landasan hukum pembentukan Komite PGPK di Pusat pada tahun 2004:
3. Terbentuknya Komite PGPK di tingkat Pusat dan di 8 Propinsi tahun 2004 dan di seluruh propinsi tahun 2010
4. Berfungsinya Komite PGPK Pusat dan Daerah paling lambat 1 tahn setelah pembentukan
INDIKATOR:
1. Terbentuknya dan berfungsinya Komite PGPK Pusat dan Daerah
2. Persentase Komite Daerah yang terbentuk per periode
3. Persentase Komie Daerah yang berfungsi per periode
STRATEGI II
Meningkatkan advokasi dan komunikasi lintas sektor/program dalam Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK)
POKOK KEGIATAN
1. Menyusun bahan – bahan advokasi dan komunikasi
2. Advokasi dan komunikasi kepada pengambil keputusan di Pusat dan Daerah, DPR/DPRD, organisasi profesi, tokoh masyarakat serta stake holder lainnya.
3. Meningkatkan pemanfaatan media cetak dan elektronik untuk membangun opini masyarakat yang mendukung program PGPK
4. Membangun situs web
TARGET:
1. Tersedianyabahan – bahan untuk advokasi dan komunikasi PGPK pada akhir tahun 2004
2. Terselenggaranya advokasi dan komunikasi yang efektif di LP/LS di tingkat Pusat pada tahun 2004 dan di Propinsi lainnya pada tahun 2010
3. Tersedianya advokasi dan komunikasi yang efektif di LP/LS di 8 propinsi pada tahun 2004
4. Minimal 10% media cetak dan elektronik berperan serta dalam penyebarluasan informasi PGPK dengan frekuensi minimal 4 (empat) kali per tahun di Pusat pada tahun 2004 dan di 8 Porpinsi pada tahun 2005
5. Berfungsinya situs web pada tahun 2005
INDIKATOR:
1. Diterbitkannya peraturan daerah yang mendukung pelaksanaan kegiatan PGPK di Propinsi
2. Persentase alokasi anggaran APBN/APBD terhadap kebutuhan untuk melaksanakan kegiatan PGPK di Propinsi
3. Jumlah kungungan dan interaksi ke situs web/tahun
STRATEGIS III
Menggalang Kemitraan dalam Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK)
POKOK KEGIATAN:
Inventarisasi mitra kerja potensial (sektor terkait, tim pembina UKS, organisasi profesi, assosiasi pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), PKK,
Pramuka, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, dll), dunia usaha dalam dan luar negeri,
1. Sosialisasi melalui seminar, publikasi dan bentuk kegiatan lain dengan stake holder
2. Pengembangan model kemitraan
3. Penjalinan kerjasama (MoU)
TARGET:
1. Semua mitra kerja potensial terkait luar negeri telah menjalin kerjasama dengan pemerintah Pusat pada tahun 2004 dan di seluruh Propinsi pada tahun 2010
2. Setiap Dewan PGPK di Pusat dan Daerah telah menjalin kerjasama dengan satu mitra kerja potensial terkait di 8 propinsi pada tahun 2004, di seluruh Propinsi pada tahn 2010.
3. 50% kegiatan yang tertulis dalam piagam kerjasama terlaksana
INDIKATOR:
1. % MoU dengan mitra kerja potensial dalam dan luar negeri
2. % mitra kerja berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah kebutaan
STRATEGI IV
Penguatan Manajemen Program dan Infrastruktur Pelayanan Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK)
POKOK KEGIATAN
1. Penataan organisasi dan sistem pelayanan kesehatan indera penglihatan di Pusat, Propinsi dan Kab/Kota
2. Peningkatan kemampuan manajerial program PGPK di Pusat, Propinsi, Kab/Kota termasuk merencanakan kebutuhan anggaran
3. Pengembangan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan indera penglihatan di Propinsi dan Kab/Kota
TARGET
1. Tertatanya organisasi dan kerjasama antar komponen dalam sistem pelayanan kesehatan indera penglihatan di Pusat dan 8 Propinsi pada tahun 2004
2. Meningkatnya kemampuan manajerial semua komponen yang terlibat dalam PGPK di Pusat dan 8 Propinsi pada tahun 2005
3. Kesiapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan indera penglihatan di 8 Propinsi meliputi SDM, peralatan, standar pelayanan, sistem pencatatan dan pelaporan, pendanan sesuai dengan tingkat pelayanan.
a. 50% RS pemerintah dan swasta, semua BKMM, 50% Puskesmas di masing-masing Propinsi pada tahun 2004
b. 60% sarana kesehatan terlibat dalam jejaring kerja PGPK pada tahun 2005
c. 60% UKS SD pada tahun 2004
d. 25% kenaikan Cataract Surgical Rate (CSR) per tahun sejak tahun 2004
e. 80% SpM melakukan operasi rehabilitasi/pencegahan kebutaan sebanyak 12 operasi/minggu pada tahun 2010
f. 100% anak SD dengan kelainan refraksi terkoreksi pada tahun 2010
4. Setiap spesialis mata/residen mata di Rumah Sakit Kab/Kota dan BKMM, membina dan mengembangkan kompentensi kesehatan Indera Penglihatan tehadap 30% dokter dan perawat Puskesmas di 8 propinsi pada tahun 2005 dan di Propinsi lainnya pada tahun 2010
INDIKATOR
1. Berfungsinya sistem dan prosedur kerjasama antar komponen dalam sistem pelayanan kesehatan Indera Penglihatan di Pusat
2. Persenas Propinsi yang memiliki sistem dan prosedur kerjasama antar komponen dalam sistem pelayanan kesehatan Indera Penglihatan yang berfungsi
3. Persentase cakupan pelayanan kesehatan indera penglihatan dalam PGPK; operasi katarak, deteksi dini kasus glaukoma, kelainan refraksi pada anak SD dan xeroftalmia
4. Kesiapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan indera penglihatan di 8 propinsi meliputi SDM, peralatan, standar pelayanan, sistem pencatatan dan pelaporan, pendanan sesuai dengan tingkat pelayanan.
a. Persentase RS pemerintah dan swasta, BKMM, Puskesmas di masing-masing Propinsi
b. Persentase sarana kesehatan terlibat dalam jejaring kerja PGPK
c. Persentase SD yang melakukan penjaringan kelainan refraksi
d. Persentase kenaikan Cataract Surgical Rate (CSR)
e. Persentase SpM melakukan 12 operasi rehabilitasi/pencegahan kebutaan dalam 1 minggu
f. Persentase dokter dan perawat Puskesmas yang telah dibina oleh dokter spesialis mata/residen Rumah Sakit Kab/Kota/BKMM
STRATEGI V
Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang terlibat dalam Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK)
POKOK KEGIATAN:
1. Inventarisasi kuantitas dan distribusi ketenagaan dokter spesialis mata, residen mata, dokter umum terlatih, perawat mahir mata, refraksionis optisian, teknisi peralatan mata (ophthalmic technician), ahli gizi, elektromedik dan penyuluhan kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan
2. Perencanaan Kebutuhan sumber daya manusia kesehatan (SDM Kesehatan) yang dilengkapi sarana pelayanan
3. Peningkatan jumlah dan mutu ketenagaan melalui peningkatan sarana dan prasarana pendidikan
4. Pengembangan model pemetaan tenaga kesehatan sesuai kebutuhan pelayanan
TARGET
1. 100% terinventarisasinya kuantitas dan distribusi ketenagaan dokter spesialis mata, residen mata, dokter umum terlatih, perawat perawat mahir mata, refraksionis optisian, teknisi peralatan mata (ophthalmic technician), ahli gizi, elektromedik dan penyuluhan kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan di 8 Propinsi pada tahun 2005, 100% di propinsi lainnya pada tahun 2010
2. Terpenuhinya kebutuhan sumber daya manusia kesehatan (SDM Kesehatan) pada sarana pelayanan
a. 100% di RS Propinsi dan BKMM mempunyai ketenagaan Spesialis di 8 Propinsi pada tahun 2005, di Propinsi lainnya pada tahun 2010
b. 60% Rumah Sakit Kab/kota mempunya ketenagaan spesialis/residen mata di 8 propinsi pada tahun 2005, di propinsi lainnya pada tahun 2010
c. Setiap spesialis mata/residen mata di RS Kab/kota dan BKMM didampingi oleh minimal 2 (dua) perawat mahir mata (dari RS) DI 8 Propinsi pada tahun 2005, di propinsi lainnya pada tahun 2010
d. Seluruh RS dan Dinas Kesehatan Kab/Kota telah mempunya Ahli Gizi di 8 propinsi pada tahun 2005, di propinsi lainnya pada tahun 2010
e. 30% tenaga elektromedik di RS propinsi/kab/kota dan BKMM, mempunyai keterampilan pemeliharaan peralatan mata di 8 propinsi pada tahun 2004, di propinsi lainnya pada tahun 2010
f. Semua tenaga pendukung telah mendapatkan keterampilan penyuluhan dan deteksi dini di bidang kesehatan indera penglihatan di 8 propinsi pada tahun 2006, di propinsi lainnya pada tahun 2010
g. 20% optikal telah mempunyai minimal 1 (satu) tenaga Diploma III Refraksionis Optisien di 8 propinsi pada tahun 2004 dan 100% di propinsi lainnya pada tahun 2010
h. 50% dari 7 ARO terakreditasi “B” pada tahun 2005, 100% pada tahun 2010
3. Tersedianya model pemerataan tenaga kesehatan untuk 50% jenis tenaga kesehatan apda tahun 2005
INDIKATOR
1. Ratio dokter spesialis mata sesuai kebutuhan Propinsi
2. Ratio dokter spesialis mata/residen mata sesuai kebutuhan kab/kota
3. Persentase perawat mahir mata pendamping dokter spesialis mata RS kab/kota dan BKMM
4. Presentase ahli gizi yang bekerja di RS dan Dinkes Kab/kota
5. Presentase tenaga Diploma III Refraksionis Optisien di sarana optikal
6. Presentase tenaga teknisi elektromedik terlatih peralatan mata di Rumah Sakit / Dinas Kesehatan Kab/kota
STRATEGI VI
Mobilisasi sumber daya swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri yang mendukung pelaksanaan kegiatan Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK)
POKOK KEGIATAN
1. Inventarisasi sumber daya, swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri
2. Pendekatan kepada swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri
3. Penyusunan rencana aksi pengumpulan dan pemanfaatan sumber daya masyarakat, lembaga donor dalam dan luar negeri
4. Mobilisasi peran serta tenaga non kesehatan, antara lain: Guru SD, Pramuka, Kader, Karang Taruna, anggota PKK
TARGET:
1. Tersedianya daftar inventaris sumber daya swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri
2. Terlaksananya pertemuan dengan swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri untuk membahas dana kegiatan PGPK minimal 1 kali/tahun
3. Terlaksananya aksi pengumpulan dan pemanfaatan sumber daya masyarakat
4. tersusunnya dokumen kerjasama dalam pengaturan dan pemanfaatan sumber daya, swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri
5. Adanya peran serta tenaga non kesehatan, antara lain: Guru SD, Pramuka, Kader, Karang Taruna, anggota PKK
6. 50% dari sumber daya yang terhimpun telah berkontribusi untuk pelaksanaan kegiatan PGPK
7. Sumber daya terkontribusi sesuai dengan kebutuhan
INDIKATOR
1. Ditandatanganinya dokumen kerjasama dalam pengaturan dan pemanfaatan sumber daya, swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri
2. Jumlah sumber daya yang terhimpun
VI. PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pemantauan dan Evaluasi kegiatan PGPK diatur sebagai berikut:
Di Pusat
Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan yang telah dirumuskan, maka pelaksanaan pokok kegiatan dan masing – masing strategi merupakan tanggung jawab dari seluruh unit di lingkungan Departemen Kesehatan sesuai tugas pokok dan fungsinya dan Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan bermitra dengan seluruh sektor terkait, organisasi profesi dan swasta.
Departemen Kesehatan cq. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat bertanggung jawab sebagai leading sector dan memonitor pelaksanaan Rencana Strategi Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ini serta berkoordinasi dengan unit lain di lingkungan Depkes serta sektor lain terkait untuk mengoptimalkan sumber daya dan pelayanan.
Di Propinsi
Pelaksanaan pokok kegiatan dan masing – masing strategi merupakan tanggung jawab dan seluruh unit kerja di Propinsi dan Komite Penanggulangan Gangguan Penglihatan Propinsi yang bermitra dengan seluruh sektor terkait, organisasi profesi dan swasta dengan leading sector yang ditentukan oleh Komite.
Di Kabupaten / Kota
Pelaksanaan pokok kegiatan dan masing – masing strategi merupakan tanggung jawab dan seluruh unit kerja di Kabupaten / Kota dan Komite Penanggulangan Gangguan Penglihatan Kabupaten / Kota yang bermitra dengan seluruh sektor terkait, organisasi profesi dan swasta dengan leading sector yang ditentukan oleh Komite.
Di Kecamatan
Pelaksanaan kegiatan PGPK merupakan tanggung jawab Puskesmas.
Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan diatur sebagai berikut:
Laporan kegiatan pelayanan PGPK yang dilakukan oleh Puskesmas dikirim ke Komite PGPK Kabupaten/Kota. Kemudian Komite Kab/Kota mengolah dan menganalisis laporan dan memberikan umpan balik ke Puskesmas. Laporan hasil kegiatan akan digunakan sebagai bahan masukan untuk menyusun kegiatan yang akan datang sesuai kebutuhan daerah.
Laporan pelaksanaan pelayanan PGPK yang dibuat oleh Komite PGPK Kab/Kota disampaikan ke Komite PGPK Propinsi setiap 6 bulan sekali.
Pelaksanaan pelayanan PGPK di Propinsi melaporkan hasil kegiatannya ke Komite PGPK Porpinsi setiap 6 bulan sekali. Kemudian Komite PGPK Kab/Kota dan pelaksana pelayanan PGPK Propinsi dan Komie Kab/Kota.
Komite PGPK Pusat memperoleh laporan Komite PGPK Propinsi setiap 6 bulan sekali, kemudian diolah dan dianalisis dan hasilnya digunakan sebagai umpan balik ke Komie PGPK Propinsi, Kab/Kota serta sebagai laporan kepada Presiden.
Kegiatan pemantauan diatur sebagai berikut:
Kegiatan pemantauan secara langsung dilakukan dengan pengamatan lapangan dan secara tidak langsung dilakukan dengan menilai laporan.
PENUTUP
Rencana Strategis Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman bagi Program Kesehatan Indera Penglihatan oleh semua pihak baik pemerintah maupun swasta. Kegiatan akan dipantau secara berkala untuk dapat disempurnakan.
Diharapkan dengan dilaksanakan pelbagai kegiatan ini masalah Kesehatan Indera Penglihatan di Indonesia tidak lagi menjadi masalah Kesehatan Masyarakat.

Gangguan Jiwa


Categories: Sosial | no responses
MASIH MELEKATNYA STIGMA MASYARAKAT TERHADAP KELUARGANYA YANG MENDERITA GANGUAN JIWA, SEPERTI AIB KELUARGA DAN TIDAK BISA DISEMBUHKAN, BADAMPAKSEMAKIN BANYAKNYA PENGHUNI RUMAH SAKIT JIWA.

KEPADA RRI KEPALA RSJ SINGKAWANG DOKTER GIGI OSCAR PRIMADI,MPH MEMBENARKAN  BANYAKNYA PASIEN RSJ SINGKAWANG YANG MELEBIHI KAPASITAS DAYA TAMPUNG, KARENA DARI KPASITAS 300 ORANG KINI TERPAKSA HARUS MERAWAT 541 PASIEN.

OSCAR PRIMADI MENGAKUI ,  MANAGEMEN SEBUAH RUMAH SAKIT JIKA TERJADI OVER LOAD JUMLAH PASIEN, OTOMATIS TIDAK AKAN AFEKTIF, SEHINGGA PIHAKNYA TELAH MELAKUKAN PENDEKATAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH , KARENA PASIEN  YANG ADA HAMPIR MERATA BERASAL DARI BERBAGAI KABUPATEN KOTA DI SELURUH KALBAR.

TENTUNYA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KOTA TIDAK HANYA MELEPAS BEGITU SAJA TERHADAP WARGANYA YANG SUDAH PULANG DARI RSJ, DILAKUKAN PEMBINAAN DENGAN DIBUATKAN SEMACAM RUMAH SINGGAH.

HAL INI PATUT MENJADI PERHATIAN SELURUH PEMERINTAH KABUPATEN KOTA DAN MASYARAKAT, KARENA JIKA DILIHAT DARI PREVALENSI PENDERITA GANGGUAN JIWA BERDASARKAN HASIL SURVEY MENCAPAI 1 PERSEN DARI JUMLAH PENDUDUK.

JIKA JUMLAH PENDUDUK KALIMANTAN BARAT SEBANYAK 4 JUTA, MAKA DIPERKIRAKAN PENDUDUK YANG MENDERITA GANGGUAN JIWA MENCAPAI 4 RIBU ORANG.// SEBAGAIMANA FENOMENA GUNUNG ES, JUMLAH PASIEN YANG TERUNGKAP HANYA SEBAGIAN KECIL DARI JUMLAH SEBENARNYA.

OSCAR PRIMADI OPTIMIS PERMASALAHAN PENANGANAN PENDERITA GANGGUAN JIWA TEREBUT SEGERA DAPAT DIMINIMALISIR, KARENA MASING-MASING KABUPATEN KOTA TELAH MEMBERIKAN RESPON POSITIF TERHADAP PENANGGULANGAN DAN PENANGANAN PENDERITA GANGGUAN JIWA YANG ADA.HERMANTA_RRI

Kapuas Hulu

Kondisi Geografis :
  => Luas Wilayah 29.842 Km
  => Daratan seluas 25.917 Km2
  => Rawa seluas 3.925 Km2
  =>  Sekitar 1.231 Danau
  => 114 Cabang Sungai

Kesehatan Jiwa


KESEHATAN JIWA
Pada saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya
mengalami peningkatan. Data hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SK-RT) yang
dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun
1995 menunjukkan, diperkirakan terdapat 264 dari 1000 anggota Rumah Tangga menderita
gangguan kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir in i , data tersebut
dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gcjolak-gejolak lainnya
diseluruh daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun akan lkut memicu terjadinya
peningkatan tersebut.
Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa negara
menunjukkan bahwa hari-hari produktif 'yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life
Years (DALY's) sebesar 8,1% dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah
kesehatan jiwa. Angka in i lebih tinggi dari pada dampak yang disebabkan penyakit
Tuberculosis(7,2%), Kanker(5,8%), Penyakit Jantung (4,4%) maupun Malaria (2,6%).
Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibandingkan dengan masalah kesehatan
lainnya yang ada dimasyarakat.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan
"Kesehatan" adalah:
"Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis".
Atas dasar definisi Kesehatan tersebut di atas, maka manusia selalu
dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). dari unsur "badan"
(organobiologik), "jiwa" (psiko-edukatif) dan “sosial” (sosio-kultural), yang tidak
dititik beratkan pada “penyakit” tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dan
"kesejahteraan" dan “produktivitas sosial ekonomi”.
Dan definisi tersebut juga tersirat bahwa "Kesehatan Jiwa" merupakan bagian
yang tidak terpisahkan (integral) dari "Kesehatan" dan unsur utama dalam menunjang
terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh.
Menurut Undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan
"Kesehatan Jiwa" adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai
unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut:
2
"Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan
perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna
kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) danmemperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam
hubungannya dengan manusia lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari
kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan
sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain.
Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merasa senang terhadap dirinya serta
o Mampu menghadapi situasi
o Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
o Puas dengan kehidupannya sehari-hari
o Mempunyai harga diri yang wajar
o Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak
pula merendahkan
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta
o Mampu mencintai orang lain
o Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
o Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
o Merasa bagian dari suatu kelompok
o Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang
lain "mengakah" dirinya
3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta
o Menetapkan tujuan hidup yang realistis
o Mampu mengambil keputusan
o Mampu menerima tanggungjawab
o Mampu merancang masa depan
o Dapat menerima ide dan pengalaman baru
o Puas dengan pekerjaannya
Untuk mencapai jiwa yang sehat diperlukan usaha dan waktu untuk
mengembangkan dan membinanya. Jiwa yang sehat dikembangkan sejak masa bayi
hingga dewasa, dalam berbagai tahapan perkembangan. Pengaruh lingkungan
terutama keluarga sangat penting dalam membina jiwa yang sehat.
3
Salah satu cara untuk mencapai jiwa yang sehat adalah dengan penilaian diri
yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya yang berkaitan erat dengan cara berpikir,
cara berperan, dan cara bertindak.
Penilaian diri seseorang positif apabila seseorang cenderung:
o Menemukan kepuasan dalam hidup
o Membina hubungan yang erat dan sehat
o Menetapkan tujuan dan mencapainya
o Menghadapi maju mundurnya kehidupan
o Mempunyai keyakinan untuk menyelesaikan masalah
Penilaian diri seseorang negatif apabila seseorang cenderung:
o Merasa hidup ini sulit dikendalikan
o Merasa stres
o Menghindari tantangan hidup
o Memikirkan kegagalan
Beberapa upaya untuk membangun penilaian diri:
1. Seseorang harusjujur terhadap diri sendiri.
2. Berupaya mengenali diri sendiri dan belajar menerima semua kekurangan
dan kelebihannya.
3. Bersedia memperbaiki diri sendiri untuk mengatasi kekurangannya
4. Menetapkan tujuan dan berusaha mencapainya dengan
tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain
5. Selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemampuan,
tetapi tidak boleh terlalu memaksakan diri sendiri.
Apabila seseorang mengalami perubahan maka akan tcrjadi reaksi baik secara
jasmani maupun kejiwaan yang disebut dengan stres. Sebagai contoh misalnya para
karyawan atau manajer merasakan stres apabila ada pekerjaan yang menumpuk atau
jika ada kesulitan dalam hubungan kerja.
Stres dapat terjadi pada setiap orang dan pada setiap waktu, karena stres
merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindarkan. Pada
umumnya orang menyadari adanya stres, namun ada juga yang tidak menyadari hahwa
dirinya mengalami stres.
Reaksi seseorang terhadap stres dapat bersifat positif maupun dapat bersifat
negatif. Reaksi yang bersifat negatif atau merugikan, jika terjadi keluhan atau
4
gangguan pada orang tersebut. Reaksi bersifat positif, jika menimbulkan dampak yang
menjadi pendorong agar orang berusaha. Stres yang bersifat negatif/merugikan dapat
terjadi apabila stres terlalu berat atau berlangsung cukup lama.
Faktor yang menyebabkan stres disebut sebagai stresor. Ada beberapa macarr
penyebab stres:
o Stresor fisik/jasmani, antara lain:
Suhu dingin/panas, suara bising, rasa sakit, kelelahan fisik, polusi
udara, tempat tinggal tak memadai dan sebagainya.
o Stresor psikologik, antara lain:
Rasa takut, kesepian, patah hati, marah, jengkel, cemburu, iri hati
o Stresor sosial-budaya, antara lain:
Hubungan sosial, kesulitan pekerjaan, menganggur, pensiun,
PHK, perpisahan, perceraian, keterasingan, konflik rumah tangga.
Stres dapat berpengaruh terhadap keadaan jasmani dan kejiwaan seseorang:
o Reaksi yang bersifat jasmani dapat berupa:
Jantung berdebar-debar, otot tegang, sakit kepala, sakit perut/diare,
lelah, gangguan makan, eksim.
o Reaksi yang bersifat kejiwaan dapat berupa:
Sukar konsentrasi, sukar tidur, cenderung menyalahkan orang lain,
cemas, menarik di r i , menyerang, mudah tersinggung.
o Pada tahap yang berat stres dapat menimbulkan:
Penyakit fisik (misal tekanan darah tinggi, asma berat, serangan jantung
dan sebagainya)
Stres tidak dapat dicegah akan tetapi dapat dikendalikan, berikut ini terdapat 12
langkah pengendalian stres:
1. Merencanakan masa depan dengan lebih baik:
Belajar hidup tertib dan teratur dan menggunakan waktu sebaikbaiknya.
2. Menghindari membuat beberapa perubahan besar dalam saat yang
bersamaan:
Misalnya pindah rumah, pindah pekerjaan dan sebagainya. Memberi
waktu untuk menyesuaikan diri terhadap setiap perubahan yang
baru sebelum melangkah lebih lanjut.
5
3. Menerima diri sendiri sebagaimana adanya
4. Menerima lingkungan sebagaimana adanya
5. Berbuat sesuai kemampuan dan minat
6. Membuat keputusan yang bijaksana
7. Berpikir positif
8. Membicarakan persoalan yang dihadapi dengan orang l a i n yang
dapat dipercaya
9. Memelihara kesehatan d in sendiri
10. Membina persahabatan dengan orang lain
11. Meluangkan waktu untuk diri sendiri:
Jika merasa tegang dan letih perlu istirahat atau rekreasi
12. Melakukan relaksasi:
Melalukan releksasi selama 10-15 menit setiap hari untuk
mengendorkan ketegangan otot yang diakibatkan oleh stres.